Adaut: Hukum Adat dan Diskriminasi Perempuan Korban Kekerasan Seksual
MS terus tersenyum dan sesekali menatap MU (36) yang ia panggil mama tua. Meski sudah berusia 21 tahun, perawakannya yang kurus dengan tinggi sekitar 150 cm, MS yang hari itu bercelana pendek abu-abu dan kaos putih sekilas tampak seperti remaja 14 tahun.
Ia tak terlihat takut ataupun kesulitan menjawab tiap pertanyaan yang diajukan padanya. Dengan suara terbata-bata dan menggerak-gerakan tangannya memberi isyarat, MS dengan lancar menceritakan setiap detail peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya.
“Om B tarik tangan saya masuk ke dalam kamar. Habis itu Om B kasih saya uang Rp10.000,” kata MS, Selasa (27/8), menuturkan peristiwa kekerasan seksual pertama yang dialaminya, dengan diterjemahkan oleh MU.
MS lahir dan besar di Desa Adaut, Kecamatan Selaru, Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Ia bisu dan disabilitas intelektual. Semenjak ibunya meninggal dunia karena keracunan ikan kembung, MS yang saat itu masih kecil diasuh oleh neneknya, kemudian tinggal bersama AS, kakak sulung ayahnya MS, dan MU, calon istri AS.
MS empat kali menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh kerabatnya sendiri. Kekerasan pertama terjadi pada 2019 saat ia berusia 15 tahun dan duduk di kelas tiga SMP. Kasus itu diselesaikan dengan pembayaran denda adat sebesar Rp10 juta, tapi uang denda dari pelaku yang masih sepupu ibunya, tidak menjadi milik MS karena adat “Duan-Lolat” mengharuskan denda hanya boleh digunakan oleh pihak keluarga ibunya MS.
Tindak kekerasan yang sama kembali dialami MS pada 2023, pelakunya pria berusia 50an yang ia panggil kakek karena masih kerabat dekat nenek dari garis ibu. Pola kekerasan seksual serupa dengan kasus pertama, MS diajak pelaku ke rumah kemudian dipaksa masuk ke kamar, sesudah itu ia diberikan uang sebesar Rp20.000 dan diwanti-wanti agar tidak memberitahukan kepada siapapun. Hingga saat ini kasus tersebut belum diselesaikan. Menurut MU, pihak keluarga masih mempertimbangkan cara penyelesaian yang tepat.
“Rencananya yang kedua itu mau adat lalu bayar tapi sampai sekarang belum. Kami dari pihak keluarga mau mendesak juga kami malu, jangan sampai mereka bilang kami menggunakan MS untuk mendapatkan uang,” ucap MU.
Tindak kekerasan seksual ketiga terjadi pada April 2025, pelakunya juga masih termasuk kakek MS dari garis ibu. Peristiwa itu terjadi di Saumlaki, ibu kota Kabupaten Kepulauan Tanimbar, saat MS tinggal bersama ayahnya yang bekerja sebagai buruh bangunan membangun rumah milik anak pelaku. Kasus kekerasan seksual dengan metode memanipulasi korban lalu membayar Rp50.000, dilaporkan ke Polres Tanimbar dan sementara dalam proses penyelidikan.
Sedangkan peristiwa keempat terjadi sekitar Agustus 2025, saat pelaksanaan lomba baris-berbaris menyongsong peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-80 tahun di Desa Adaut. Kasus ini baru terungkap saat proses wawancara dengan MS dilakukan.
“Bapaknya memutuskan kejadian di Saumlaki harus diproses di polisi agar tidak ada kejadian yang sama lagi. Selain itu, supaya jangan ada yang bilang keluarga kami memanfaatkan MS untuk dapat uang,” ujar MU.

Desa Adaut berada di Pulau Selaru, salah satu pulau 3T di Indonesia, luas wilayahnya mencapai 223,09 kilometer persegi atau sekitar 27 persen dari luas Kecamatan Selaru, dengan jumlah penduduk hampir mencapai delapan ribu jiwa. Warga Adaut menggunakan Bahasa Fordata sebagai bahasa penutur sehari-hari, bahasa yang juga digunakan oleh masyarakat di Pulau Yamdena yang berada di sebelah utara.
Selain MS, ada korban kekerasan seksual lain di Adaut yang kasusnya diselesaikan hanya dengan membayar denda adat.
YU (23), seorang penyandang disabilitas bisu diperkosa oleh kakak kelasnya pada 2019. YU yang saat itu masih berusia 17 tahun dan duduk di bangku kelas dua SMA sempat diancam akan dibunuh oleh pelaku jika menceritakan peristiwa tersebut. Kasusnya kemudian diselesaikan dengan cara pelaku membayar denda adat sebesar Rp50 juta.
YU mengaku takut dan trauma dengan peristiwa itu, namun ia juga tak bisa berbuat banyak, sebab para duan-nya dan keluarga pelaku telah bersepakat untuk kasus diselesaikan dengan bayar denda adat.
Seorang korban lainnya, TS (20) saat berusia 17 tahun menjalin hubungan dengan seorang pemuda 19 tahun dan hamil sehingga harus putus sekolah. Kasusnya sempat diadvokasi oleh Charlota Christina Sumeanak, aktivis perempuan adat Adaut, agar diselesaikan secara hukum karena dinilai sebagai kasus child grooming yang melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak. Namun, ketika keluarga TS melapor ke Polsek Selaru, pihak kepolisian dengan sengaja menolak memproses laporan dan menyarankan kasus dibawa ke lembaga adat untuk diselesaikan dengan hukum adat.
Bibi TS, AS (50) mengaku kecewa dengan keputusan polisi yang menolak mengurus kasus keponakannya, dengan alasan Surat Keputusan (SK) Latupati mewajibkan semua kasus yang melibatkan masyarakat di Pulau Selaru harus diselesaikan melalui sidang adat.
“Karena ditolak oleh polisi, kami terpaksa membawa kasusnya ke lembaga adat. Hasil sidang adat, pelaku hanya bayar denda Rp6 juta dan Rp300.000 biaya jaminan anak,” ucap AS.
Ketua Lembaga Adat Desa Adaut Kores Sanamase saat dikonfirmasi membenarkan ada SK Latupati yang ditandatangani oleh kepala-kepala desa se-Kecamatan Selaru dan diterbitkan pada 2005. SK itu mengatur jumlah denda adat yang harus dibayarkan dalam tiap kasus, namun ia menolak merincikan jumlah denda secara spesifik.
Kores menyatakan, saat ini hanya Desa Adaut yang masih berpegang pada SK Latupati, enam desa lainnya telah mengganti dengan peraturan desa masing-masing. Ia membantah ada kasus kekerasan seksual di Adaut yang diselesaikan melalui sidang adat, melainkan di kepolisian. Lembaga adat, sebut dia, hanya menyidangkan kasus yang berkaitan dengan rumah tangga.
“Baru-baru ini lembaga-lembaga adat se-Kecamatan Selaru rapat mau merancang ulang SK Latupati supaya bisa dipakai lagi secara luas. Harta perempuan kalau bisa dinaikkan, disesuaikan dengan masa sekarang,” ujarmya.
Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, nominal standar denda adat kepada perempuan korban kekerasan yang tertera di SK Latupati sebesar Rp4,8 juta, ditambah Rp300.000 sebagai uang jaminan anak bagi korban yang hamil akibat tindak pidana kekerasan seksual.
Bayar Denda Adat Masalah Selesai

Desa Adaut pernah menjadi sorotan Komnas Perempuan karena kasus kekerasan yang melibatkan perempuan sebagai korban seringkali diselesaikan dengan mediasi dan bayar denda adat. Komnas Perempuan menurunkan tim pelapor khusus restorative justice ke sejumlah wilayah di Kepulauan Tanimbar, termasuk Adaut pada Mei 2022 untuk mengumpulkan informasi.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Elisabeth Imaculata Werembinan mengatakan adat di Kepulauan Tanimbar seragam. Orang Tanimbar sangat menghormati perempuan yang disimbolkan dengan “Limriti” atau putri, namun pengaturan adat di masa kini membuat maknanya tergerus.
Dalam adat dan budaya Tanimbar hubungan kekerabatan Duan-Lolat memiliki peran penting bagi tatanan masyarakat. Duan adalah garis keturunan pihak perempuan, sedangkan Lolat adalah keturunan pihak laki-laki. Tiap perempuan Tanimbar mendapatkan hartanya dari para duan, yakni Bain Lele (harta muka) sebesar Rp2,5 juta dan Bain Mase (harta tengah) Rp1,5 juta dari saudara-saudara ibunya, dan Bain Lelbutir (harta belakang) Rp1 juta dari saudara-saudara neneknya.
“Orang Tanimbar hanya mati untuk dua hal, saudara perempuannya dan batas tanah. Nilai denda tergantung tuntutan om-om (duan) kita karena nanti mereka yang makan harta kita, kalau kita buat masalah mereka juga yang nanti menyelesaikan,” ucapnya.
Terkait kekerasan seksual di Adaut dan cara penyelesaiannya, Elisabeth mengaku tidak memiliki banyak informasi, termasuk soal SK Latupati Kecamatan Selaru. Ia menyayangkan kecilnya nominal tuntutan denda adat kasus kekerasan seksual dan berjanji akan memberikan perhatian lebih ke Adaut.
“Kalau saya lihat di Adaut adatnya sudah terkikis. Sangat memprihatinkan, seharusnya denda lebih tinggi agar ada efek jera bagi pelaku, karena mereka juga akan berpikir dua kali untuk berbuat kejahatan sebab bayarannya mahal,” imbuhnya.
Data kasus kekerasan seksual Dinas P3AP2KB Kabupaten Kepulauan Tanimbar, sedikitnya ada 30 kasus perkosaan, pelecehan/pencabulan, dan persetubuhan terjadi pada anak dalam setahun terakhir. Sedangkan pada perempuan dewasa terdapat tiga kasus pelecehan dan pencabulan. Rata-rata pelaku masih memiliki hubungan kekerabatan dengan korban. Dalam data tersebut tidak ada kasus di Adaut.

Data lain yang didapatkan dari Polres Kepulauan Tanimbar, kasus kejahatan seksual yang melibatkan perempuan dan anak selama Januari-Desember 2024 sebanyak 61 kasus, tiga di antaranya adalah kasus setubuh anak yang terjadi di Adaut. Sedangkan per Januari-Juli 2025 terdapat 38 kasus, dua kasus di antaranya kasus setubuh anak di Adaut, dan satu kasus pencabulan perempuan warga Adaut di Saumlaki.
Wakapolres Kepulauan Tanimbar Kompol Wilhelmus B Minanlarat menerangkan, aturan hukum positif tidak membolehkan kasus kekerasan seksual diselesaikan dengan cara restorative justice, tapi sebagian besar kasus tidak dilaporkan kepada pihak berwajib dan diselesaikan oleh masyarakat dengan jalur adat maupun kekeluargaan.
Terkait itu, pihak kepolisian tidak bisa mengintervensi hasil konsesus antara pelaku dan korban karena hukum adat juga diakui oleh negara, meskipun penyelesaian kasus dengan bayar denda adat seringkali lebih banyak merugikan korban. Polisi, kata dia, hanya bisa memproses kasus kekerasan seksual apabila dilaporkan secara resmi oleh korban atau keluarganya, sehingga tercatat dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
“Penyelesaian tindak pidana kekerasan seksual tidak boleh dihentikan, apalagi restorative justice,” katanya.
Kanit PPA Polres Kepulauan Tanimbar Aipda Abdul Wahab dalam keterangan terpisah mengatakan kebanyakan kasus kekerasan seksual dilaporkan hanya apabila denda adat belum atau tidak dibayarkan. Sebagian korban menarik kembali tuntutannya ketika pelaku membayar denda adat.
Adaut menjadi satu dari tiga desa di Pulau Selaru yang mendapat perhatian Unit PPA Polres Kepulauan Tanimbar, karena banyak dan beragamnya kasus kekerasan seksual, terutama yang melibatkan anak tapi sangat sedikit yang dilaporkan.
“Kekerasan seksual harus dilaporkan ke Polres. Biasanya kalau korbannya anak, walaupun tuntutannya dicabut tidak akan kami lepaskan, tetap diproses,” ujar Abdul Wahab.
Ia menambahkan, pihaknya sedang berupaya membangun rumah aman di belakang gedung Unit PPA agar bisa digunakan untuk menampung anak yang menjadi korban, saksi dan pelaku kekerasan selama penyelidikan dilakukan, karena rumah aman yang dikelola oleh Dinas P3AP2KB dirasa tidak cukup aman sebab bisa diakses oleh siapa saja.
“Kami juga bekerja sama dengan LPSK untuk perlindungan korban dan saksi tapi regulasinya kadang berbelit-belit, sementara kami butuh cepat karena mencegah jangan sampai pelakunya kabur,” ujar dia.
Denda Adat Bukan Keadilan Bagi Perempuan Adaut

“Diskriminatif. Membayar denda adat tidak menyelesaikan tindak pidana kekerasan seksual. Ada undang-undangnya tapi masyarakat tidak tahu, ini harusnya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk sosialisasi, edukasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat,” ucap Charlota Christina Sumeanak, aktivis perempuan adat Adaut.
Menurut dia, tindak kekerasan seksual di Adaut sangat tinggi tapi diselesaikan dengan proses adat yang tidak adil bagi para korban. Selain hubungan kekerabatan Duan-Lolat dan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual maupun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, proses di kepolisian yang dianggap berbelit-belit juga menjadi alasan warga memilih kasus diselesaikan dengan cara membayar denda adat.
Christina yang juga pelapor khusus restorative justice Komnas Perempuan untuk Kabupaten Kepulauan Tanimbar menyebutkan proses sidang adat tidak mengindahkan dampak terhadap psikis korban, karena korban, pelaku dan keluarga mereka dihadirkan bersama-sama dalam sidang yang digelar terbuka di balai desa dan boleh disaksikan oleh warga.
Ia berharap ada pos khusus pengaduan kekerasan perempuan di Adaut yang tidak hanya menampung laporan dan pengaduan warga, tapi juga melakukan pendampingan dan mengakampanyekan isu gender dan kekerasan, serta berasosiasi dengan pemerintah desa dan lembaga adat.
“Untuk sidang adat korban dan pelaku dikenakan uang meja masing-masing Rp500.000. Setelah denda dibayarkan, mediator yang menghubungkan keluarga korban dengan pelaku juga harus dibayar Rp1 juta oleh keluarga korban,” ujar Chistina.
Adat membayar denda untuk menyelesaikan kejahatan seksual bagi Christofol Ngorantutul (59), nelayan dan petani di Adaut, terasa seperti memperdagangkan perempuan. Sebagai seorang ayah yang memiliki empat anak perempuan, ia tak sanggup membayangkan jika anak-anaknya menjadi korban dan harus diselesaikan melalui sidang adat maupun mediasi kekeluargaan.
“Memang perempuan seperti diperdagangkan. Sistem kekerabatan di Adaut masih kental, itu sebabnya seringkali korban dan pelaku kekerasan seksual masih ada hubungan keluarga, entah dari ibu atau ayah,” ucapnya.
Adat yang diskriminatif terhadap perempuan Adaut juga diakui oleh warga setempat. EF (48) misalnya, ia merasa kaum perempuan sangat dirugikan karena meskipun menjadi korban, mereka tidak bisa menikmati dan memanfaatkan uang denda yang dibayarkan oleh pelaku.
Pria yang sehari-harinya bekerja sebagai pedagang itu mengatakan menyelesaikan kasus kekerasan seksual dengan hanya membayar denda menjatuhkan martabat seorang perempuan, juga tidak memberi efek jera bagi pelaku sebab uang denda tidak dikumpulkan oleh pelaku dan keluarga kandungnya saja, tapi juga urunan dari para duan karena adat setempat mewajibkan hal tersebut.
“Menurut saya tidak adil, perempuan jadi sangat tidak berharga, martabatnya diinjak-injak tapi pada akhirnya tidak dapat apa-apa. Denda juga bukan hanya pelaku dan keluarganya sendiri yang menanggung tapi duan juga ikut menanggung beban itu,” tandas EF.
Hal senada disampaikan HS. Pemuda 26 tahun itu bahkan telah mewanti-wanti para saudara laki-laki dari garis ibunya agar tidak melakukan kejahatan yang mengharuskan ia dan keluarga ikut menanggung denda adat.
“Kalau datang bawa babi dan sopi lalu minta uang untuk biaya sekolah atau kuliah, atau biaya kawin, saya masih bisa kasih, tapi tidak untuk tindakan kejahatan,” tegas HS. (Vs)
September 26, 2025 @ 11:43 am
Tulisan yang bagus..semoga dibaca oleh pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan publik di Provinsi