Jaring Nusa: KTT AIS Harus Ada Solusi Ancaman Perubahan Iklim
Jaring Nusa meminta pertemuan tingkat tinggi (KTT) Archipelagic and Island States (AIS) atau AIS Forum yang akan berlangsung di Bali pada 10-11 Oktober 2023 dapat memberikan solusi konkret terhadap ancaman perubahan iklim.
Dalam siaran pers mereka, Senin (9/10), Jaring Nusa yang terdiri dari 18 organisasi dan satu komunitas lingkungan hidup di Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat, Maluku Utara dan Maluku, menyatakan pertemuan 51 pemimpin negara kepulauan yang tergabung dalam AIS harus menghasilkan solusi konkret untuk melindungi masyarakat di kawasan pesisir dan pulau kecil, dan mengatasi dampak perubahan iklim.
AIS Forum yang menjadi wadah negara-negara pulau dan kepulauan terbentuk sejak 2018, diinisiasi melalui Manado Joint Declaration atas inisiatif Indonesia bekerja sama dengan United Nations Development Programme (UNDP).
Organisasi tersebut dibentuk untuk mendorong kolaborasi antarnegara pulau dan kepulauan di seluruh dunia untuk bersama-sama mengatasi tantangan dan permasalahan global yang dihadapi, khususnya pada sektor pembangunan kelautan dan mitigasi perubahan iklim, penanggulangan pencemaran di laut serta tata kelola maritim.
Jaring Nusa menilai, Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km persegi, rentan terdampak bencana iklim. Dampaknya telah dirasakan dan menjadi ancaman serius saat ini dan masa mendatang.
Kerentanan tersebut dapat dilihat di berbagai wilayah pesisir Indonesia yang telah mengalami dampak seperti abrasi, intrusi air laut, cuaca ekstrem, pemanasan serta kenaikan muka air laut yang cukup signifikan.
Selain dampak perubahan iklim, kerentanan pesisir dan pulau kecil Indonesia juga disebabkan oleh berbagai faktor dinamis yang mempengaruhi wilayah pesisir, laut dan pulau kecil seperti faktor kebijakan pembanguan nasional dan daerah yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan.
Masyarakat dan ekosistem pulau-pulau kecil termasuk juga wilayah pesisir pulau besar telah menghadapi berbagai ancaman dan degradasi baik dari aspek ekologi, pengaruh krisis iklim, berubahnya musim penangkapan ikan, hilangnya lahan penduduk di daerah pesisir karena abrasi, konflik agraria, konflik ruang termasuk konflik wilayah tangkap nelayan.
Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia Nirwan Dessibali mengatakan, pesisir dan pulau-pulau kecil adalah wilayah yang paling rentan terhadap ancaman nyata dari dampak perubahan iklim. Dampaknya kini telah dirasakan di berbagai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, bahkan tak sedikit negara-negara kepulauaan di dunia turut merasakan.
“Perubahan iklim dan laut memiliki keterkaitan yang sangat besar. Ini adalah tantangan global yang harus dihadapi secara bersama-sama. Negara-negara kepulauan dan negara-negara pulau kecil harus berkolaborasi menghadirkan solusi bersama,” kata Nirwan.
Menurut dia, hasil studi Climate Central bertajuk “365 Days on a Warming Planet” yang dirilis Oktober 2022, menunjukkan tren dan peringkat global berdasarkan peristiwa suhu penting pada 2021-2022, menggunakan alat berbasis peta visualisasi skor Indeks Pergeseran Iklim harian untuk 1.021 kota di seluruh dunia.
“Ini kabar yang memprihatinkan bahwa dalam laporan tersebut berbagai wilayah di Indonesia mengalami pergeseran iklim tinggi. Contohnya, Kota Makassar yang tertinggi di Indonesia, bahkan masuk 14 besar dunia dengan jumlah 279 hari pergeseran iklim,” ungkap Nirwan.
Pada kondisi tingkat lokal, katanya menambahkan, “indeks pergeseran iklim harian di Kota Makassar tercatat sebesar 3,8. Itu artinya anomali suhu pada hari tersebut setidaknya tiga kali lebih mungkin terjadi karena dampak perubahan iklim yang disebabkan manusia. Ini harus mendapat perhatian yang serius.”
Nirwan berharap para pemimpin dunia negara kepulauan bisa mendorong metode pembelajaran “local to global dan global to local”, karena mekanisme lokal dan tradisional untuk menghadapi perubahan telah sejak lama dilakukan oleh masyarakat pesisir dan pulau kecil sebagai bentuk adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan.
“Cara-cara tradisional ini terbukti ampuh membangun resiliensi masyarakat seiring perubahan dan gangguan dari beberapa dekade, walau mulai tereduksi oleh banyak sebab,” ujarnya.
Direktur Jala Ina Maluku Muhammad Yusuf Sangaji mengatakan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil adalah kelompok paling terdampak krisis iklim. Mereka kehilangan ruang penghidupan karena krisis iklim yang kian buruk.
Para nelayan kesulitan menangkap ikan karena meningkatnya suhu air laut membuat ikan-ikan mencari tempat yang lebih dingin di laut dalam. Penghidupan masyarakat pulau pun ikut terdampak sebab iklim yang tidak menentu.
“Petani pala dan cengkih di Kepulauan Maluku kebingungan karena iklim yang tak menentu dan hasil panen yang tak seberapa. Padahal komoditi ini adalah sumber penghidupan mereka,” ucap dia.
Dari aspek sosial ekonomi, menurunnya pendapatan masyarakat pesisir dan terancamannya ketahanan pangan masyarakat pulau kecil disebabkan pula oleh kerusakan lingkungan dan pencemaran, ditambah dengan persoalan kebijakan dan tata kelola perikanan yang tidak pro terhadap nelayan kecil, semakin membebani masyarakat pesisir. Problem lainnya berujung pada kemiskinan struktural, paradoks bagi wilayah pesisir dan pulau kecil yang kaya sumber daya alam dan tinggi keanekaragaman hayati laut.
Karena itu, kata Yusuf lagi, sudah saatnya bagi Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara-negara kepulauan untuk mengembalikan ruang penghidupan masyarakat pesisir dan pulau kecil dengan membuat regulasi yang berbasis kepulauan.
Aturan tersebut dinilai penting untuk mendorong dan mendukung diterapkannya kembali aturan-aturan adat, dan mengoptimalkan peran masyarakat pesisir dan pulau kecil.
“Penting juga adanya aturan yang mendorong dan mendukung diterapkannya kembali aturan-aturan adat, serta mengoptimalkan peran masyarakat pesisir dan pulau kecil. Pelibatan masyarakat dan penarapan regulasi disesuaikan dengan kondisi wilayah merupakan instrumen yang tepat untuk melawan krisis iklim,” kata Yusuf.
Terkait perubahan iklim, data Badan PBB untuk anak-anak, UNICEF menunjukkan sebanyak 43,1 juta anak di dunia terpaksa mengungsi dalam kurun waktu 2016-2021 akibat bencana alam dan cuaca ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim, mulai dari banjir hingga kekeringan, badai hingga kebakaran hutan.
Civic Protection Humanitarian Aid–EU melansir bahwa setiap tahunnya jutaan orang terpaksa meninggalkan rumah mereka karena konflik, kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, penganiayaan, bencana dan dampak perubahan iklim. Jumlah pengungsi paksa terus meningkat pada 2022 sehingga memerlukan peningkatan bantuan kemanusiaan. Pada akhir tahun 2022, 108,4 juta orang menjadi pengungsi di seluruh dunia.
Indonesia sebagai negara kepulauan, ada lebih dari 12.000 desa pesisir yang terancam secara langsung dampak perubahan iklim, dan ratusan pulau kecil terancam tenggelam. Selain risiko yang dihadapi terkait perubahan iklim, model pembangunan di wilayah pesisir yang mengabaikan hak-hak masyarakat akan menambah risiko terjadinya pengungsi, sebab ada yang dipaksa mengungsi akibat proyek pembangunan yang tidak adil.
Menilik dari itu, Jaring Nusa menyerukan kepada para pemimpin negara-negara kepulauan yang tergabung dalam AIS Forum untuk sungguh-sungguh mengantisipasi dampak perubahan iklim dalam jangka panjang. Ancaman perpindahan penduduk secara paksa akibat perubahan iklim berpotensi semakin meluas.
Selain karena dampak perubahan iklim, AIS Forum harus berkomitmen dan memulai langkah-langkah kongkret mencegah pembangunan yang tidak adil dan melanggar HAM dengan cara menggusur masyarakat pulau kecil dari ruang hidup mereka.
Contoh kasus di Indonesia terkait upaya paksa memindahkan warga dari ruang hidupnya bisa dilihat pada kasus ekspansi tambang nikel di Pulau Wawoni, Pulau Sangihe, dan baru-baru ini kasus Rempang. Penduduk pulau Rempang direpresif dan terancam dipindahkan dari ruang hidup mereka karena adanya proyek ambisius, yakni pembangunan Eco City dan pabrik kaca.
Oleh karenanya, AIS Forum harus memastikan adanya kebijakan oleh negara-negara anggotanya terhadap perlindungan wilayah pesisir laut dan pulau kecil, dan menghormati, mengadopsi, mengakui, kearifan lokal masyarakat pesisir pulau kecil di wilayah masing-masing.
Para pemimpin negara-negara kepulauan juga harus memastikan keikutsertaan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan kebijakan mengatasi dampak perubahan iklim, maupun tata kelola sumber daya pesisir dan laut.
Perubahan iklim yang telah dirasakan saat ini, khususnya oleh negara-negara kepulauan tidak hanya mengancam ruang hidup dan kehidupan penduduk pada wilayah pesisir dan pulau kecil, namun juga mengancam kedaulatan negara sehingga harus ada langkah kongkret untuk mengatasi kenaikan permukaan air laut yang diprediksi akan semakin parah pada 2050.
Parid Ridwanuddin, Pengkampanye Pesisir dan Pulau Kecil WALHI, menegaskan bahwa konferensi AIS tidak akan memiliki dampak apa-apa jika Pemerintah Indonesia tidak mengevaluasi dan menghentikan berbagai proyek yang mempercepat kerusakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti penambangan nikel, pasir laut dan proyek reklamasi di berbagai wilayah.
Ia juga mendesak pemerintah menjadikan perlindungan pesisir dan pulau kecil sebagai agenda utama dalam pembangunan jangka panjang, mengingat Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Tanpa hal itu, KTT AIS adalah pertemuan yang tidak bermakna sama sekali.
“KTT AIS hanya akan menjadi pertemuan seremonial semata jika Pemerintah Indonesia tidak mengevaluasi dan menghentikan proyek predatoris yang menghancurkan pesisir dan pulau-pulau kecil,” tandas Parid.
Demi keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia, khususnya kawasan pesisir dan pulau kecil, Jaring Nusa juga menyerukan kepada para pemimpin negara di dalam AIS Forum agar mengevaluasi dan memastikan anggotanya menghentikan proyek yang berkontribusi langsung memperparah kondisi pesisir, laut dan pulau kecil.
Karena mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tidak akan terwujud tanpa ada koreksi terhadap model pembangunan pesisir yang lebih mementingkan investasi, infrastruktur dan pendapatan negara, tapi mengabaikan hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat pesisir dan pulau kecil.
Sebagaimana disampaikan oleh Dinamisator Jaring Nusa Asmar Exwar, bahwa tujuan utama AIS Forum adalah memperkuat kolaborasi dalam mengatasi permasalahan global, khususnya dampak perubahan iklim sangat diapresiasi.
Akan tetapi, pertemuan itu tak akan berarti apa-apa tanpa adanya upaya konkret memastikan negara-negara anggota melindungi masyarakat beserta wilayah pesisir, laut dan pulau kecil dari berbagai ancaman nyata saat ini dan di masa depan.
Sudah saatnya bagi negara-negara kepulauan untuk menghentikan laju industri ekstraktif yang berkonstribusi besar terhadap kenaikan gas rumah kaca, karena terbukti memperparah degradasi ekosistem pesisir, laut dan pulau kecil, serta mengancam keselamatan masyarakat dan kedaulatan negara kepulauan.
Secara khusus, sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, Pemerintah Indonesia harus memastikan pembangunan wilayah yang lebih adil dan berkelanjutan.
“Tidak hanya mengatasi dampak perubahan iklim tapi juga mengoreksi kebijakan pembangunan dan menghentikan tekanan dinamis proyek-proyek yang mengancam secara langsung ruang hidup masyarakat juga ekosistem pesisir, laut dan pulau kecil. Pemerintah memiliki pekerjaan rumah segera merampungkan undang-undang kepulauan dan undang-undang keadilan iklim,” ujar Asmar. (Red)
Jaring Nusa
Jaring Nusa dideklarasikan pada tanggal 19 Agustus 2021. Saat ini ada 18 organisasi dan satu komunitas yang bergabung sebagai anggota Jaring Nusa, dan tersebar di Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat, Maluku Utara dan Maluku.
Anggota Jaring Nusa selama ini telah berperan aktif mendorong praktik baik dalam hal membangun dan memperkuat resiliensi komunitas. Beragam aksi konservasi mangrove dan penguatan ekonomi dilakukan, transplantasi terumbu karang serta menggerakkan model perikanan skala kecil pada kelompok nelayan. Penguatan aturan lokal/adat sebagai bagian tata kelola pesisir dan laut yang arif dan berkelanjutan, menggerakkan kelompok anak muda untuk mencintai pesisir dan laut dengan aksi-aksi konservasi dan edukasi. Mendorong pembentukan peraturan daerah terkait perlindungan wilayah pesisir serta ekosistem dan pengakuan masyarakat adat.
Organisasi yang tergabung dalam Jaring Nusa antara lain Yayasan EcoNusa, WALHI, WALHI Sulawesi Selatan, Yayasan Hutan Biru, Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia, Yayasan Bonebula, Yayasan PakaTiva, WALHI Maluku Utara, Moluccas Coastal Care, Tunas Bahari Maluku, Yayasan Tananua Flores, Yayasan Suara Nurani Minaesa Sulut, Komnas Desa Sultra, LPSDN NTB dan Japesda Gorontalo, YPR Sulteng, PGM Malaumkarta Papua Barat, dan Jala Ina Maluku.
Jaring Nusa berkomitmen untuk mendorong perlindungan dan penyelamatan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil khususnya di kawasan timur Indonesia, yang mana fakta-fakta kerentanan pesisir dan pulau kecil di KTI terhadap perubahan iklim, pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam membutuhkan penguatan bagi komunitas agar lebih tangguh untuk memitigasi dan mengadaptasinya.