Kusta: Menepis Stigma Penyakit Kutukan
Hampir setahun sudah ER (27), warga Dusun Riang, Desa Tawiri, Kecamatan Teluk Ambon menjalani pengobatan kusta basah (Multi Basiler/MB) yang dialaminya. Di bawah penanganan petugas kesehatan Puskesmas Rumah Tiga, ER berangsur-angsur pulih sepenuhnya, bercak-bercak putih tebal di wajah yang merupakan tanda gejala kusta pun hanya tersisa bekas warna berbeda dari warna kulit aslinya yang kecoklatan.
ER merupakan satu dari sekian penderita kusta yang terdeteksi di Kota Ambon. Ia pertama kali tahu terkena kusta sekitar tahun 2020, saat itu wajahnya dipenuhi ruam merah yang kian hari membesar, lalu timbul bintik-bintik di tubuh. ER segera memeriksakan diri ke puskesmas setempat dan sempat didiagnosa terkena alergi.
“Pertama kali berobat saya diberi obat alergi karena gejalanya mirip, ada ruam dan bintik-bintik. Tiga kali ganti obat tidak sembuh-sembuh, karena tidak puas saya berinisiatif berobat ke Puskesmas Rumah Tiga, di sana saya diberikan surat pengantar untuk periksa sampel kulit di laboratorium kesehatan,” kata ER di Ambon, Kamis.
Dinyatakan menderita kusta, bagi ER seperti vonis hukuman mati, ada rasa bingung dan tidak percaya bahwa dirinya telah terjangkit. Kurangnya pengetahuan mengenai penyakit yang sering juga disebut dengan lepra, membuat ER berhenti berobat hingga pada 2023 ia kembali merasakan gejala dan reaksi sakit yang sama.
“Waktu didiagnosa kena kusta, saya tidak terima, tidak percaya, bagaimana bisa, dari mana asalnya, karena selama ini saya pikirnya kusta itu sakit turunan, tidak ada keluarga yang sakit kusta juga, akhirnya saya hanya sekali minum obat tidak lanjut lagi sampai kemudian tahun 2023 reaksinya muncul kembali,” ucap ER.
Kusta selalu diidentikan oleh masyarakat awam sebagai penyakit kutukan atau penyakit turunan. Minimnya informasi dan pengetahuan tentang infeksi Mycobacterium Leprae, masa inkubasi dan proses pengobatannya menyebabkan stigma terhadap penderita kusta cukup tinggi, akibatnya mereka tidak berani terbuka mengenai sakit yang dialami, bahkan enggan berobat karena minder dan malu.
Survei Katamataku Universitas Indonesia (UI) yang diterbitkan dalam Policy Brief Strategi Penanganan Penyakit Kusta di Kota Ambon pada 2023 menyatakan, 42 persen pasien mengaku mengalami stigma atau mendapatakan perlakuan berbeda karena menderita kusta, sehingga mereka cenderung menutup diri dan bersikap apatis untuk mengantisipasi risiko yang harus dihadapi jika orang lain tahu kondisi sakit mereka.
Tingginya anggapan negatif terhadap penyakit kusta, sedikit banyak juga mempengaruhi kampanye dan edukasi di masyarakat. Dian A, Ketua Perhimpunan Mandiri Kusta (PerMaTa) Maluku dalam pertemuan Program Zero Leprosy Project yang digagas Yayasan Rumah Generasi pada 7 Oktober 2024, mengaku sering mendapatkan penolakan untuk sosialisasi, tidak terkecuali dari kelompok agama.
“Kami sudah sering ditolak dengan berbagai alasan ketika memasukan undangan untuk memberikan sosialisasi kusta, termasuk dari gereja juga ada yang menolak kami,” ujarnya.
Dalam wawancara yang berbeda, Dian yang telah sembuh total dari kusta, berharap masyarakat bisa berhenti menstigmatisasi para penderita kusta dan memberikan dukungan positif, agar mereka bisa terus berobat dan sembuh, serta bisa memberdayakan diri.
“Dukungan terhadap orang kusta sangat penting agar mereka bisa cepat sembuh, karena kalau orang kusta terlalu stres reaksi sakitnya lebih meningkat sehingga penyembuhannya agak lama, tapi kalau mental sehat dan pikiran tenang, bahagia dan suka cita itu membuat cepat sembuh,” ucap Dian.
Kusta, lepra atau morbus hansen adalah penyakit kulit akibat infeksi Mycobacterium Leprae yang bisa mempengaruhi sistem saraf, kulit, hidung dan mata. Penyakit ini terbagi dalam dua tipe, yakni kusta kering (Pausi Basiler/PB) dan kusta basah (Multi Basiler/MB).
Dalam artikel “Mengenal Penyakit Kusta” yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2023 menjelaskan, bakteri penyebab kusta tidak dapat menular kepada orang lain dengan mudah.
Kendati Mycobacterium Leprae menular dari satu orang ke orang lainnya melalui percikan ludah atau dahak (droplet), seseorang bisa tertular kusta jika terkena percikan droplet secara terus menerus dalam waktu yang lama. Karena itu, kusta tidak menular hanya karena bersalaman, duduk bersama, dan tidak bisa ditularkan dari ibu ke janinnya.
Masa inkubasi Mycobacterium Leprae antara dua hingga tiga tahun, bahkan lebih. Bakteri ini mengalami proses pembelahan antara dua hingga tiga minggu, dan memiliki daya tahan hidup di luar tubuh manusia mencapai sembilan hari.
Proses penanganan kusta (Dok. Dinkes Kota Ambon)
Kota Ambon dan upaya eliminasi kusta
Indonesia menempati urutan ketiga dengan jumlah kasus kusta terbanyak di dunia sesudah India dan Brazil, dan berada di urutan tertinggi di Asia Tenggara. Laporan Kemenkes tahun 2022, pervalensi kasus kusta di Indonesia sebesar 0,55 per 10.000 penduduk.
Data Katamataku UI menyebutkan, sedikitnya ada enam provinsi di Indonesia yang belum mencapai eliminasi kusta, salah satunya Maluku, dengan prevalensi 2,12 per 10.000 penduduk, dan terdapat 388 jumlah kasus kusta yang terdaftar di tahun 2020.
Dari 11 kabupaten/kota di Maluku, hanya satu kabupaten yang berhasil mencapai eliminasi kusta, Ambon yang adalah ibu kota provinsi belum eliminasi kusta. Jumlah penderita kusta di Ambon setiap tahunnya masih cenderung naik, termasuk pada kelompok anak usia di bawah 15 tahun. Jumlah penderita tahun 2021-2023 berturut-turut sebanyak 80, 72 dan 95 orang.
Data lain yang didapatkan adalah proporsi angka cacat tingkat dua di antara penderita baru masih ditemukan. Adanya cacat tingkat dua menunjukkan penularan masih berlangsung dan keterlambatan dalam penemuan kasus baru.
Junus Louhenapessy, Penanggung Jawab Program Kusta – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Ambon mengatakan, penanganan kusta di Ambon telah digencarkan sejak tahun 1992, para tenaga kesehatan turun untuk menjangkau langsung para penderita agar mau berobat, meski prosesnya terbilang tidak mudah karena tingginya anggapan negatif di masyarakat.
Setali tiga uang antara rendahnya pemahaman tentang penyakit kusta yang berimbas pada tingginya stigma, membuat penderita tidak terbuka terbuka saat memeriksakan sakitnya, akibatnya ada kasus kusta yang salah didiagnosa menjadi penyakit lain oleh petugas kesehatan.
“Penderita kusta yang sudah sudah minum obat tidak perlu ditakuti karena sudah tidak bisa menularkan lagi. Stigma terhadap kusta di Ambon memang cukup tinggi, dianggap penyakit kutukan karena ada di kitab suci. Selain itu, masih banyak masyarakat yang percaya dengan mitos, lebih percaya kalau sakitnya diguna-guna,” ujarnya.
Beragam persoalan lain juga harus dihadapi Dinkes dalam upaya eliminasi kusta di Kota Ambon yang seharusnya sudah terjadi pada 2019, mulai dari minimnya anggaran untuk kampanye kusta, rendahnya tingkat partisipasi warga dalam edukasi kusta, hingga kehabisan obat kusta yang dijatah Kemenkes karena penanganan pasien dari luar wilayah.
“Angka kusta di Ambon masih tinggi, berada di urutan kelima dari 11 kabupaten/kota, mungkin sekarang sudah tiga besar karena angka prevalensi sudah 3,6 per 10.000. Tinggi sekali karena memang selama ini kusta ibarat penyakit yang diabaikan secara tidak langsung. Aturannya eleminasi kusta prevalensi harusnya satu per 10.000,” katanya.
Mengejar target Ambon eleminasi kusta 2030, Dinkes, ucap Junus, menjalin kerja sama dengan berbagai pihak termasuk tokoh-tokoh masyarakat dan agama, organisasi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), di antaranya adalah orang yang pernah menderita kusta (OYPMK) dan PerMaTa untuk membantu memberikan pemahaman tentang kusta kepada publik.
Fokus penanganan kusta dipusatkan di puskesmas yang tersebar di 10 kecamatan, pasien penyakit kulit dengan gejala kusta yang berobat ke klinik dokter praktik harus dirujuk ke puskesmas setempat untuk pemeriksaan intensif dan pengobatan. Selain itu, puskesmas juga meminimalisir pengobatan pasien kusta dari luar Ambon untuk mengatasi menipisnya stok obat.
“Kehabisan obat pernah terjadi karena permintaan obat ke Kemenkes disesuaikan dengan jumlah penderita. Solusinya, kami bekerja sama dengan Dikes Provinsi agar pasien dikembalikan ke daerah asal, apabila pasiennya tetap mau berobat di sini, maka obatnya harus dikirim ke Kota Ambon bukan ke kabupaten tempat asal pasien,” ujar Junus.
Cacat kaki akibat kusta karena pasien terlambat berobat. (Dok. Dinkes Kota Ambon)
Dukungan terhadap penderita kusta dan OYPMK
Untuk mencapai Ambon bebas kusta dibutuhkan kerja sama oleh berbagai pihak. Mendorong upaya eleminasi kusta yang dijalankan pemerintah setempat, Yayasan Rumah Generasi bekerja sama dengan Netherlands Leprosy Relief (NRL) Indonesia menjalankan Zero Leprosy Project yang dimulai pada 2024-2026.
Program kerja tiga tahun yang dimulai pada Juni 2024 itu mendorong kolaborasi antar instansi dan organisasi yang ada di Ambon guna mengupayakan para penderita kusta dan OYPMK mendapatkan akses layanan dasar yang disediakan oleh pemerintah, juga bisa memberdayakan diri dan mandiri secara ekonomi.
“Kami ingin penderita kusta dan teman-teman OYPMK diberikan ruang karena banyak yang menyembunyikan diri, dan mereka kurang mendapatkan informasi yang full di lingkungan sosial,” ucap Vanessa Claudia Masoleh, Koordinator Program Zero Leprosy Project – Yayasan Rumah Generasi.
Menurut dia, penderita kusta dan OYPMK seringkali kesulitan mengakses layanan dasar kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi sosial. Tantangan itu berakar dari kurangnya pemahamanan masyarakat mengenai kusta dan hak-hak OYPMK, serta keterbatasan sumber daya yang mendukung, sehingga penting untuk menyediakan layanan yang menyeluruh dan inklusif, juga berfokus pada kebutuhan sosial, ekonomi, dan psikologis bagi penderita kusta dan OYPMK.
Pendekatan komprehensif melibatkan kerja sama antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, LSM, sektor swasta, dan komunitas menjadi faktor kunci dalam menjamin akses yang setara bagi penderita kusta dan OYPMK terhadap layanan dasar.
“Stigma tidak hanya berdampak negatif pada kualitas hidup individu, tapi juga dapat menghambat usaha penanganan dan pencegahan penyakit kusta di Ambon,” ujar dia.
Melalui Zero Leprosy Project, Rumah Generasi mempertemukan berbagai pihak untuk duduk bersama membahas isu kusta, tantangan yang dihadapi dan strategi penanganan. Kolaborasi lintas sektor itu diharapkan mampu menghasilkan solusi berkelanjutan yang meningkatkan kualitas hidup penderita kusta dan OYPMK, sekaligus mengurangi stigma dan diskriminasi yang mereka alami.
Agustus lalu, Rumah Generasi membentuk Forum Bebas Stigma Kusta (BesTiKu) yang terdiri dari OYPMK, PerMaTa, Forum Disabilitas, Forum Anak Kota Ambon, dan pendamping orang disabilitas untuk bahu membahu menyuarakan isu kusta di masyarakat.
“Zero Leprosy Project baru dijalankan Juni lalu, kami memulai program dengan assessment dan pemetaaan isu terkait kusta di Ambon. Dari apa yang kami lakukan dan pelajari, kami berharap bisa mendorong agar ada anggaran dari dana desa yang diperuntukan bagi isu dan program kusta di tiap desa,” kata Claudia.