Menilik Perspektif Keadilan Hukum Adat Bagi Perempuan Adaut
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Maluku menaruh perhatian besar terhadap pemberdayaan dan penguatan kapasitas perempuan adat, juga penerapan hukum terhadap kasus yang melibatkan perempuan di wilayah adat. Dalam catatan mereka, sistem dan aturan adat di Maluku bersifat patriarkal, ini dibuktikan dengan keanggotaan lembaga adat yang dipilih berdasarkan soa (klan patriliniar yang membawahi beberapa marga dari satu leluhur) umumnya laki-laki.
Kendati demikian, dalam pandangan AMAN Maluku, keterwakilan perempuan dalam kelembagaan adat tidak bisa menjadi tolak ukur suara perempuan tidak didengarkan, atau sebaliknya kebutuhan terhadap kepentingan gender mereka bisa terpenuhi sepenuhnya.
“Proporsi jumlah perempuan di kelembagaan adat tidak menjamin bahwa suara dan kebutuhan perempuan adat akan didengarkan,” kata Ketua AMAN Wilayah Maluku Lenny Patty di Ambon, Kamis (25/9).

Menyoroti penyelesaian kasus kekerasan seksual di Desa Adaut, Kecamatan Selaru, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, melalui pembayaran denda adat tanpa sanksi lainnya, Lenny tak menampik masih diskriminatif, terutama jika dilihat dari perspektif pemenuhan hak korban untuk mendapat keadilan hukum.
Menurutnya, hukum adat tidak sepenuhnya salah, namun pada aspek tertentu, khususnya hak dan martabat manusia, hukum adat yang juga diakui oleh negara perlu diharmonisasi dengan hukum positif, agar tidak ada ketimpangan dalam pemenuhan keadilan bagi masyarakat di wilayah adat.
Ia menduga kurangnya informasi dan pengetahuan mengenai ketentuan hukum positif, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang bisa melindungi dari kejahatan seksual, menyebabkan masyarakat lebih memilih menyelesaikan persoalan dengan aturan yang lebih mereka kenali.
Edukasi tentang hukum positif bagi komunitas adat, kata Lenny, merupakan tanggung jawab negara sebagai bagian dari perlindungan terhadap masyarakat adat.
“Dari pengalaman AMAN, semakin jauh wilayahnya dari ibu kota kabupaten atau provinsi, semakin sedikit akses terhadap informasi dan pengetahuan tertentu, karena ada kesenjangan fasilitasi dan akses terhadap informasi,” ujarnya.
Denda adat di Desa Adaut, Kecamatan Selaru, Kabupaten Kepulauan Tanimbar diatur dalam Surat Keputusan (SK) Latupati se-Kecamatan Selaru yang diterbitkan pada 2005, berlaku untuk hampir semua perkara yang terjadi di pada masyarakat setempat, tidak terkecuali TPKS dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Nominal denda biasanya dibicarakan bersama antara duan (keluarga dari pihak ibu) korban dan pelaku dalam pertemuan bersama, atau saat proses sidang adat.
Sama halnya dengan wilayah lain di Kepulauan Tanimbar, aturan denda adat di Desa Adaut beriringan dengan sistem kekerabatan Duan-Lolat, uang denda tidak menjadi hak korban, melainkan duan (keluarga dari garis ibu), sementara di pihak pelaku, denda tidak disiapkan oleh pelaku sendiri tapi juga urunan dari duan-nya. Berapapun jumlah denda adat, duan wajib ikut membayarnya.
Dari informasi yang kami himpun, ketentuan pembayaran denda adat tidak secara spesifik menyebutkan atau menekankan batas waktu pembayaran dan sanksi lainnya jika dilanggar. Banyak kali denda dibayarkan selama beberapa tahun, terkadang keluarga korban harus menggelar adat “bawa bakul” dan digantungkan di depan pintu rumah pelaku, kemudian membuat api unggun kecil sebagai peringatan bagi pelaku agar denda segera dilunasi.
Direktur Himpunan Maluku Untuk Kemanusiaan (HUMANUM) dalam wawancara terpisah, menilai ketimpangan keadilan hukum bagi korban kekerasan seksual di Desa Adaut adalah bukti dari kegagalan negara melindungi masyarakat, khususnya perempuan adat, karena negara berkewajiban memberikan penyadaran dan edukasi mengenai hukum positif kepada masyarakat, baik pengetahuan tentang produk hukum, layanan konsultasi maupun bantuan hukum lainnya yang bisa diakses oleh masyarakat
“Negara wajib melindungi masyarakat adat, namun dari apa yang terjadi, negara kita bukan saja abai tapi gagal,” ucapnya.
Elvira pernah menjadi satu dari tiga delegasi Indonesia di Konferensi Dunia tentang Masyarakat Adat (World Conference on Indigenous Peoples/WCIP) yang digelar PBB di New York pada 2014. Bersama HUMANUM, ia melakukan pendampingan dan mengadvokasi persoalan masyarakat adat dalam berbagai isu, mulai dari politik, ancaman perubahan iklim, pertambangan, perampasan tanah, hingga ketersediaan sumber pangan, dan lainnya.
Bagi Elvira, hukum adat tidak bisa serta merta disalahkan karena komunitas adat hanya menjalankan aturan yang telah mereka percayai secara turun temurun, meski ia juga tidak menampik bahwa dalam perspektif gender, membayar denda adat untuk menyelesaikan kasus TPKS sebagaimana yang terjadi di Desa Adaut, sangat diskriminatif sebab menempatkan perempuan pada posisi “dikorbankan” dan mengabaikan kepentingannya untuk mendapatkan keadilan.
“Dari perspektif gender memang tidak adil, maka diperlukan kehadiran negara untuk memberikan penyadaran dan edukasi hukum kepada masyarakatnya,” ujar Elvira.
Hukum Adat Berfungsi Apabila Masyarakatnya Patuh

“Adat itu berlaku jika fungsional bagi masyarakatnya. Ketika masyarakat tunduk pada hukum adat yang berlaku, maka situasinya tidak bisa diganggu gugat,” kata Abdul Manaf Tubaka, antropolog/sosiolog Universitas Islam Negeri Abdul Muthalib Sangadji Ambon.
Komunitas adat, ujar dia, tidak selalu terkebelakang karena mereka mengikuti perkembangan zaman dari masa ke masa, begitu juga dengan hukum adat, fleksibel, adaptif dan tidak kaku. Hukum adat bisa terus hidup hanya jika masyarakatnya patuh pada nilai dan aturan-aturan di dalamnya.
Menyoal penerapan hukum adat dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual di Desa Adaut yang dinilai diskriminatif dan tidak berpihak pada korban, menurut Manaf, hal itu harus dilihat dari aspek sistem jaringan kekerabatan yang berlaku.
Masyarakat percaya bahwa penyelesaian dengan hukum positif bisa dianggap melecehkan hukum adat dan sistem kekerabatan yang berlaku, sehingga korban pun tidak akan melakukan perlawanan ataupun membangkang atas keputusan adat yang sudah dibicarakan di dalam sidang adat.
“Memang ada sisi lemahnya. Kalau kita lihat rasanya itu tidak adil, tapi berlakunya hukum adat itu mesti dilihat dari jaringan kekerabatan yang ada,” ucapnya.
Solusi untuk mengubah hukum atau aturan adat, kata Manaf, harus dimulai oleh masyarakatnya sendiri. Pemikiran dan sikap kritis terhadap diskriminatif dan ketimpangan yang terjadi harus dibangun secara komunal oleh komunitas adat, sehingga mereka bisa bersama-sama mendorong perubahan dari dalam.
Solusi lainnya adalah tekanan publik. Ia mencontohkan, tradisi upacara adat kakehang (inisiasi kedewasaan laki-laki) suku Nuaulu di Pulau Seram hingga tahun 2005 masih menggunakan metode berburu kepala manusia sebagai bukti pendewasaan. Tradisi itu kemudian diganti dengan berburu hewan kuskus setelah ada tekanan dari publik luas dan pemerintah menerapkan hukum positif kepada pelaku pemenggalan kepala.
“Solusinya adalah kesadaran pengguna kebudayaan itu sendiri, dan bisa juga melalui tekanan publik,” imbuh Manaf.
Hukum Adat vs. Hukum Positif
“Eksistensi hukum adat diakui oleh hukum positif, maka hukum adat berada di bawah hukum positif. Jika ada UU yang mengatur, maka yang berlaku adalah UU,” kata Elsa Rina Maya Toule, akademisi hukum pidana Universitas Pattimura Ambon.
Ia mengatakan sebagai penganut Civil Law System, Indonesia melakukan kodifikasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan (hukum positif). Selain itu, Indonesia juga mengakui eksistensi hukum adat dalam Pasal 18b Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP baru).
Pasal 2 KUHP menjabarkan hukum yang hidup di dalam masyarakat (hukum adat) diakui sepanjang perbuatan yang dilakukan tidak diatur dalam KUHP, dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia (HAM) dan asas hukum umum yang diakui bangsa-bangsa. Rumusan Pasal 2 secara gamblang memastikan bahwa hukum adat untuk perbuatan pidana hanya dapat diterapkan jika UU tidak mengaturnya.
Hukum pidana, sebut Elsa, mengalami perubahan dalam proses penyelesaian tindak pidana dengan memberikan legitimasi bagi berlakunya restorative justice. Mekanisme itu merupakan abstraksi dari penyelesaian berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat, termasuk nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat hukum adat di Maluku.
Restorative justice memberikan kontribusi yang besar bagi sistem peradilan pidana di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Dalam beberapa peraturan perundang-undangan, khususnya untuk anak, mekanisme restorative justice dilakukan melalui pengalihan perkara yang disebut diversi, misalnya UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang mensyaratkan ancaman pidana di bawah tujuh tahun dan bukan pengulangan tindak pidana.
Kendati begitu, menurut dia, dari perspektif hukum pidana, kasus kekerasan seksual sebaiknya tidak diselesaikan dengan menggunakan mekanisme restorative justice atau hukum adat.
Dengan memperhatikan kasus-kasus tersebut penyelesaiannya tidak memberikan keadilan bagi korban, bahkan cenderung komersial, maka aparat penegak hukum harus memiliki spirit melindungi perempuan dan anak melalui peraturan internal kepolisian, seperti peraturan kapolri (Perkap), surat edaran (SE) kapolri dan lain-lain.
Sebagaimana amanat UU TPKS, selain Pasal 5, 6 (a) dan 14, kecuali penyandang disabilitas, semua perbuatan/delik adalah delik biasa yang bisa ditangani oleh aparat penegak hukum berdasarkan laporan atau pengetahuannya. Dengan demikian, tanpa pengaduan dari korban pun polisi harus melakukan penanganan.
Ia menegaskan, polisi tidak boleh menolak untuk melakukan penanganan dengan mengembalikan perkara ke lembaga adat. Jika masyarakat terikat pada kesepakatan para latupati, maka itu adalah hak mereka, sepanjang tidak dipaksakan, ditekan, dan sesuai dengan Pancasila dan HAM.
“Masyarakat punya hak untuk menolak diselesaikan secara adat dan melapor ke polisi, dan polisi harus melakukan tindakan,” ujarnya.
Terkait pembayaran denda atau restitusi, Elsa menyebutkan, pengaturannya dalam UU TPKS adalah secara alternatif kumulatif. Artinya, denda bisa dijatuhkan bersama dengan pidana pokok (penjara) atau dijatuhkan secara tunggal dengan jumlah yang bervariasi sesuai bentuk pidananya. Misalnya, Pasal 5; pelecehan seksual nonfisik diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10 juta, sedangkan Pasal 6 merumuskan pelecehan seksual fisik diancam pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50 juta.
Dari kedua pasal tersebut, hakim boleh memutuskan pidana penjara dan pidana denda (kumulatif) atau pidana penjara saja, atau juga pidana denda saja (tunggal).
“Komnas Perempuan dan Komisi Perlindungan Anak harus membangun sinergitas agar kasus-kasus kekerasan seksual tertentu tidak diselesaikan dengan hukum adat, misalnya kekerasan seksual secara fisik,” ujar dia.
Elsa juga menerangkan pidana dalam bentuk penjara maupun denda tidak menjamin efek jera. Karena itu, dari perspektif kriminologi yang mesti menjadi perhatian utama adalah faktor penyebab yang menjadi sumbangan pemikiran terhadap penjatuhan pidana, juga kebijakan pembangunan/sosial/kriminal, guna memperbaiki kondisi-kondisi yang menyebabkan terjadinya tindak pidana.
“Sarana hukum pidana melalui sarana penal (pidana), obat terakhir (ultimum remedium) yang tidak menyetuh faktor penyebab, jangankan pidana denda, pidana penjara sekalipun kemungkinan melakukan perbuatan yang sama potensial dapat terjadi,” imbuhnya. (Vs)
*Artikel ini adalah seri kedua artikel berjudul “Adaut: Hukum Adat dan Diskriminasi Perempuan Korban Kekerasan Seksual” untuk program fellowship Liputan Berisiko PPMN