Revenge Porn: Tubuh Perempuan dan Stigma
Revenge porn atau penyebaran konten intim non-konsensual merupakan kekerasan digital yang sebagian besar korbannya adalah perempuan, termasuk perempuan di bawah umur, dan rata-rata pelaku penyebaran konten intim tanpa persetujuan adalah laki-laki.
Jauh sebelum istilah revenge porn diperkenalkan sebagai salah satu dari Kekerasan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), kasus penyebaran konten intim baik dalam bentuk foto maupun video sudah banyak terjadi di Indonesia, tidak terkecuali di Kota Ambon, kendati data secara spesifik tidak tercatat oleh institusi pemerintah setempat.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Masyarakat dan Desa (DP3AMD) Kota Ambon mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang berhubungan dengan media digital dalam lima tahun terakhir sebagai kasus Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tanpa spesifikasi jenis kekerasan. Sedikitnya data yang bisa ditemukan menyulitkan untuk memverifikasi berapa banyak kasus KGBO, khususnya revenge porn yang terjadi.
Sofia Siahaya, Program Officer Inklusi Rumah Generasi, di Ambon, Kamis, mengatakan sepengetahuannya kasus revenge porn terjadi di Kota Ambon sejak tahun 2016, di mana korban adalah seorang pelajar SMP dan pelaku anggota TNI. Kasus tersebut tercatat sebagai persetubuhan di bawah umur karena korban dipaksa untuk berhubungan seksual dengan ancaman penyebaran foto intim oleh pelaku.
“Kami yang mengadvokasi kasus itu hingga ke polisi militer, sekitar tahun 2016, tapi saat itu pengetahuan mengenai KBGO belum seperti sekarang, sehingga kasusnya dimasukkan sebagai kasus persetubuhan di bawah umur,” katanya.
Meski istilahnya baru dikenal, menurut dia, kasus-kasus KGBO, terutama revenge porn bukanlah isu baru, hanya saja tidak terdata oleh instansi yang bertugas merekap data sebagai bagian dari pemantauan dan pengukuran seberapa besar kenaikan kasus, agar ada upaya untuk pencegahan dan penanganan yang lebih komprehensif bagi korban.
Sofia bahkan menyebutkan ada korban-korban revenge porn yang tidak berani melapor dan mencari keadilan, tapi memilih untuk “dealing” dengan pelaku karena khawatir kecaman dan stigma sosial, terlebih proses hukum yang lama dan berlarut-larut. Hal ini juga membuktikan bahwa negara belum sepenuhnya menjamin rasa aman bagi para korban kekerasan seksual via digital.
“Kita di Ambon belum sampai pada penanganan yang komprehensif terhadap korban KGBO, karena kalau bicara soal kekerasan digital lebih banyak berkaitan dengan ancaman dan tekanan mental terhadap korban, itu artinya proses penanganan bukan hanya soal hukuman bagi pelaku, tapi juga upaya pemulihan kesehatan mental dan jiwa korban,” ujarnya.
Dari pantauan Beranda Maluku, kasus penyebaran konten intim non-konsensual terbesar yang pernah terjadi di Kota Ambon adalah kasus jual beli foto dan video intim remaja tanpa persetujuan via aplikasi Instagram dan LINE pada 2019. Sedikitnya ada 293 orang yang menjadi korban.
Kasus dengan pelaku seorang mahasiswa Maluku yang sedang berkuliah di Yogyakarta tersebut tertangkap setelah anggota Dit Reskrimsus Polda Maluku melakukan patroli siber pada 2021, dan meringkus pelaku di kediamannya di Sleman pada Februari 2023.
Perempuan dan kemerdekaan terhadap tubuh
SP (24) sudah setahun lulus dari salah satu perguruan tinggi di Ambon, tapi ia masih mengingat dengan jelas peristiwa penyebaran konten intim non-konsensual yang dialaminya saat masih berkuliah. SP mengaku sempat berpikir untuk bunuh diri karena ancaman penyebaran video intim yang direkam tanpa izin oleh mantan pacarnya.
“Trauma sekali. Saat itu saya hampir tidak bisa berpikir dengan logis. Diancam tiap kali minta putus, bahkan saya juga sering dipukul tapi tidak berani bicara kepada orang tua karena saya takut sekali dia menyebarkan video itu, dia bahkan pernah mengirim screenshot video kepada teman saya,” ucap SP.
Berkali-kali mendapatkan kekerasan, SP tidak terpikirkan untuk melapor kepada pihak berwajib karena takut kasusnya diketahui publik dan berdampak pada proses pendidikan, terlebih lagi ia takut dengan stigma sosial yang harus dihadapi.
Bertahan dalam kondisi tertekan mental dan fisik selama setahun lebih, SP berupaya untuk mengubah perilaku mantan pacarnya dengan mengikuti semua keinginannya, meski SP kerap dimaki-maki dan dipukul, hingga kemudian ia tak lagi bisa mentolerir perlakuan tersebut setelah pelaku mengirim tangkapan layar video intim via aplikasi WhatsApp kepada salah seorang teman SP.
“Saya sudah putus asa saat itu. Dia bilang cinta tapi kenapa merekam dan terus mengancam saya? Karena sudah dia sudah menyebarkannya, saya akhirnya memberanikan diri bicara kepada orang tua. Awalnya mama dan papa marah sama saya tapi mereka membantu menyelesaikan masalah saya,” katanya.
Kendati bisa diselesaikan melalui jalur kekeluargaan, SP masih menyimpan rasa trauma yang besar, ia memutuskan untuk cuti kuliah selama satu semester untuk menenangkan diri, dan selama hampir sebulan lamanya ia hanya mengurung diri di kamar.
Ketakutan SP terhadap stigma sosial yang harus dihadapi jika video intimnya disebar, menurut Lies Marantika, mantan Komisioner Komnas Perempuan periode 1998-2006, disebabkan oleh budaya patriarki di dalam masyarakat. Perempuan kerap mendapatkan stigma negatif jika tidak bersikap dan berperilaku sebagaimana ciri dan peran gender yang dilekatkan oleh masyarakat.
Hal itu juga menjadikan perempuan sering mengalami diskriminasi, intimidasi dan kekerasan gender, bahkan di ranah domestik. Tidak hanya kekerasan seksual secara digital, korban kekerasan seksual fisik seperti perkosaan dan pelecehan juga seringkali disalahkan dengan berbagai alasan oleh masyarakat, seperti berpakaian terbuka, sering pulang malam dan lainnya.
“Budaya patriarki, perempuan dilekatkan dengan ciri dan peran gender secara tradisional yang ditetapkan oleh masyarakat. Perempuan harus feminin, bisa mengurus rumah tangga, harus polos dan suci. Perempuan dianggap melanggar norma ketika tidak mengikuti aturan-aturan itu,” ucap Lies.
Lies yang juga Direktur Gasira, satu-satunya lembaga perempuan dan anak di Ambon yang menyediakan rumah aman bagi korban kekerasan, menyebutkan, dalam budaya patriarki tubuh perempuan dikaitkan dengan kesucian komunitas, maupun suatu kaum.
“Tidak mengapa kalau laki-laki yang melakukannya, tapi berbeda jika itu adalah perempuan, seolah-olah kesucian perempuan menjadi tolak ukur kesucian komunitas atau kelompok masyarakat tertentu,” ujar Lies.
Era digital dan framing media terhadap perempuan
Rumah Generasi dalam advokasi mereka terhadap isu perempuan, anak dan disabilitas, serta kelompok marginal lainnya, rutin membuat pertemuan dengan sekelompok wartawan di Ambon membahas isu inklusif di Ambon, guna mendorong media massa lokal lebih toleran dan berpihak kepada mereka yang tertindas.
Upaya itu dilakukan karena mereka menilai media massa di Ambon masih belum memberikan ruang terhadap kelompok-kelompok marginal dan korban kekerasan, bahkan kerap ikut mem-framing perempuan dan membangun opini negatif masyarakat.
Namun selama dua tahun lebih menjalankan Program Inklusi untuk mendorong Ambon menjadi kota inklusif, Rumah Generasi masih menemukan pemberitaan yang bias gender, bahkan menampilkan informasi pribadi dan foto korban kekerasan dalam isi berita, tidak terkecuali media massa arus utama.
“Kami masih menemukan berita-berita yang menggunakan kalimat-kalimat bias gender, bahkan ada yang menulis nama dan mempublikasikan foto perempuan korban kekerasan. Harusnya ini tidak boleh karena jejak digital adalah trauma yang harus ditanggung korban seumur hidupnya,” ujar Sofia Siahaya.
Ia mengatakan, kemudahan di era digital membuat orang bisa lebih cepat mengakses informasi tertentu, karena itu selain bersifat informatif, media massa harus memiliki fungsi edukasi terhadap masyarakat. Peran aktif media massa sangat berpengaruh untuk mengubah budaya patriarki di masyarakat.
“Media massa punya peran penting dalan mengubah pandangan masyarakat terhadap suatu isu, itulah mengapa kami setahun lalu melaksanakan kegiatan jurnalisme advokasi untuk mendorong teman-teman jurnalis lebih berpihak kepada korban kekerasan,” katanya.
Media massa memberi pengaruh besar terhadap pandangan masyarakat kepada kaum perempuan secara umum, juga dinyatakan oleh Lies Marantika. Selama 26 tahun mengadvokasi isu gender, ia tak menampik bahwa keberpihakan media terhadap perempuan masih pada tataran “berita menghasilkan uang”.
Bias gender oleh Media massa dengan kerap menggunakan frasa yang menjolkan sisi sensualitas, kemolekan dan semacamnya membangun pandangan dan opini terhadap perempuan di mata publik secara luas. Ini sangat berbeda jika terhadap laki-laki.
“Framing media massa, jika isunya viral, segala hal bisa diangkat dari sosok perempuan, entah itu kehidupan pribadinya, bahkan hal-hal yang tidak berkaitan khsusus dengan kasus yang terjadi, yang penting banyak diklik oleh pembaca,” kata Lies.